Archive | Uncategorized RSS for this section

Sudahkah kita benar-benar memahami demokrasi?

Mencoba untuk tidak peduli, itulah sedang saya lakukan beberapa pekan terakhir terkait pemilu presiden di tanah air. Saya menahan diri hanya untuk mengamati perang urat saraf antara dua pendukung , meski saya mengakui secara pribadi saya punya kecenderungan ke salah satu kandidat. At least, saya pada level sadar akan kemungkinan ketidak netral-an saya, daripada mengklaim diri netral tapi ternyata memihak.

Well, sebenarnya yang membuat saya memutuskan menulis ini adalah apa yang saya rasakan saat melihat perang di dunia maya ataupun berbagai media lainnya. Kita menyebut pemilu sebagai pesta demokrasi, namun sikap kita terhadap acara besar ini nampaknya tidak cukup demokratis. Kita saling menyerang, mem-bully, menghina pihak yang berlawanan pendapat.

Apakah kita gagal paham dengan demokrasi yang diperjuangkan sekitar 16 tahun lalu? Pada dasarnya saya termasuk yang terbuka atas berbagai argumen yang mengkritisi visi misi, kinerja, ataupun rekam jejak dan apa yang diklaim sebagai prestasi oleh kedua kandidat, toh kalo kita mau melamar kerja aja harus melampirkan CV yang merupakan rekam jejak kita.

Namun bagaimana dengan segala sesuatu yang terkait dengan agama misalnya, etnis, orientasi seksual orang-orang terdekat para pasangan pemimpin, apa ini pantas untuk menjadi bagian dari hal yang harus dikritisi? Mengapa? Apakah orang dengan etnis tertentu, orientasi seksual tertentu, atau agama tertentu tidak layak memimpin? Mengapa? Bukankah bangsa ini menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, berbeda tapi satu jua, mengagungkan persatuan Indonesia dan mengaku sebagai bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa. Atau apa yang kita tahu tentang demokrasi itu hanya sekedar retorik, dari apa yang diceritakan orang-orang, bukan dari apa yang kita baca dan kita pelajari secara sungguh-sungguh.

Saya termasuk yang sadar betul, bangsa ini memiliki masalah dengan budaya baca, kita cenderung disuap saat belajar, bukan disuruh membaca sendiri berbagai sumber beragam kemudian dikritisi. Toh kalo boleh bertanya berapa orang dari rakyat kita yang sudah membaca karya-karya penulis besar tanah air maupun dunia, Pramoedya Ananta Toer, Buya Hamka, George Orwell, atau Frantz Fanon misalnya. Memang ini bukan indikator utama, tapi pertanyaannya, sejauh mana tradisi membaca telah menjadi bagian dari gaya hidup kita? Kemajuan teknologi, sebut saja Ipad, saya lebih sering melihat produk-produk ini hanya menjadi media untuk main game atau membuka aplikasi media sosial dibanding sebagai media untuk membaca e-book.

Oke, kita tinggal kan isu ini dan kembali ke cerita di paragraf awal, tentang pemilu di tanah air. Apa yang saya lihat dan amati adalah masing-masing pendukung berteriak bahwa calon-nya lah yang paling pantas (ini tentu sudah biasa), tapi yang menurut saya agak kurang wajar adalah saya merasa ada nuansa kebencian satu sama lain yang tumbuh, dan berpotensi terus menguat.

Lantas apa, kita mau perang setelah tau siapa yang terpilih menjadi presiden negeri ini kelak, karena tidak bisa menerima jagoannya kalah? Jadi ini proses demokrasi atau proses menuju perang? Saya merasa peradaban kita seperti kembali ke abad-abad lalu. Masa dimana negosiasi dan dialog nampaknya bukan menjadi pilihan favorit. Kekhawatiran saya adalah perang urat saraf berlanjut jadi perang otot, yang menurut saya sangat primitif, terlebih jika dilakukan oleh orang-orang dengan pendidikan tinggi.

Yang lebih mengkhawatirkan buat saya adalah ketika bertanya pada beberapa orang, dan mereka menyebut mendukung kandidat tertentu karena banyak dukungan organisasi agama di belakangnya. Kemudian mereka mengatakan orang agama kita banyak kasian dimana-mana, bangunan ibada agama lain terus tumbuh, kita semakin teraniaya, karenanya kita harus lawan. Terus saya bertanya apakah melawan juga harus dengan kekerasan? Ia menjawab ‘iya, kenapa tidak’.

Saya pun terdiam dan kemudian mengatakan ‘ Baiklah, kalo boleh saya mengatakan perspektif saya sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan tentang Resolusi Konflik dan Ilmu Perdamaian. Dalam pandangan saya kalau kita berpikir kekerasan harus dibalas dengan kekerasan misalnya, kok saya menilai kita hanya akan menciptakan lingkaran setan. Kelompok A menyerang kelompok B, terus menerus, ini tidak akan pernah selesai, hanya menambah derita kedua belah pihak’.

Perang tidak pernah menjanjikan kehidupan bagi siapapun, ia hanya menjanjikan kemenangan bagi salah satu pihak yang bertikai, untuk kemudian terus memakan korban dan saling rebut kekuasaan. Apakah ini yang menjadi cita-cita kita? Ini sangat memilukan bagi saya. Terkadang saya berpikir ilmu saya rasa-rasanya tidak berguna jika saya tidak bisa meyakinkan masyarakat di akar rumput bahwa dialog adalah jalan menuju damai, bukan dengan saling menyerang.

Perang bukan hal baru bagi saya, saya tidak hanya membaca tentang perang dari buku, media dan menyaksikan hal ini melalui layar kaca. Saya menyaksikan sendiri di lokasi kejadian sejumlah perang, seperti Libya saat rakyat berupaya menjatuhkan rezim Khadafi, Sri Lanka pasca perang sipil dengan kelompok Macan tamil, Mindanao dan Thailand Selatan, serta beberapa konflik lainnya. Tidak ada satupun dari perang tersebut yang tidak menimbulkan korban jiwa, semua hanya meninggalkan kehancuran, duka yang mendalam, dan dendam yang tak berkesudahan.

Perang yang diakhiri dengan penaklukan atau kemenangan oleh salah satu pihak atau negative peace, hanya akan menyisakan dendam, yang kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya. Lingkaran setan terus berlanjut. Karenanyalah ada yang disebut dengan negosiasi damai, Johan Galtung menyebutkan ada 4 komponen utama yang harus diperhatikan dalam proses damai, yakni: Equity, harmony, Trauma and Conflict (lebih detail pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya ‘Give peace a chance in Papua’).

Bibit kebencian, permusuhan, saling serang yang saya lihat semakin menjadi-jadi pada masa kampanye pemilu kali ini tentu sangat memilukan. Saya termasuk yang berkeyakinan, demokrasi mengajarkan kita menghormati pihak yang berbeda pendapat (walaupun saya juga terkadang sulit menganalisis argumen yang tanpa didasarkan sumber yang relevan).

Saya termasuk yang berkeyakinan jika seseorang memang pintar dia tidak akan berusaha keras meyakinkan orang lain, khususnya melalui media sosial bahwa dia pintar. Kenapa? Karena dunia sudah mengakuinya, katakanlah kalau dia akademisi, karya dan kepitarannya sudah mendapat penghargaan dari berbagai intitusi akademik dan organisasi di berbagai belahan bumi, dan seterusnya sesuai bidang dan keahliannya masing-masing. Atau terlihat dari publikasi dan karyanya, bukan dari postingan di facebook.

Well, semua tulisan di atas hanya pemikiran saya saja. Saya berharap dengan demokrasi yang sudah berjalan memasuki usia dewasa alias sweet seventeen ini, bangsa ini juga semakin cerdas. Pendidikan kita semakin maju, membaca menjadi budaya yang sudah ditanamkan sejak kecil, budaya berargumen bukan lagi bersumber dari portal-portal yang tidak jelas melainkan sumber yang relevan atau bahkan diakui secara akademik.

Sehinga bangsa yang cerdas dan bermartabat, bukan sekedar jargon lagi. Kitapun kemudian siap berkompetisi dalam Masyarakat Ekonomi Asean yang akan segera tiba. Silakan perjuangkan jagoan masing-masing, hargai demokrasi yang sudah memakan korban saudara-saudara kita di masa lalu. Mungkin bukan saudara kandung kita, tapi cobalah sedikit berempati bahwa mereka berjuang untuk apa yang kita nikmati sekarang. Setidaknya ini adalah hal minimum yang bisa kita lakukan, berempati dan menghargai perjuangan mereka. Salam Damai!

Bahasa adalah identitas?

Bahasa, kembali saya terhenyak kemarin dalam sebuah acara seminar yang dihadiri oleh orang Indonesia dengan pembicara orang asing yang sangat lancar dan mempresentasikan pemikirannya dalam bahasa Indonesia, tapi kemudian ada orang Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri beberapa tahun dan sudah beberapa tahun pula kembali ke tanah air dan bilang di depan forum ‘maaf saya bicara dalam bahasa inggris saja karena saya tidak lancer berbahasa Indonesia’ (diucapkan dalam bahasa Inggris).

Terkejut? Sangat! Bagaimana mungkin hanya tinggal beberapa tahun di Negara lain (± 3 tahun) kemudian sudah cukup lama kembali dan beberapa tahun tinggal di tanah air seseorang sudah lupa dengan bahasa ibunya. Lantas selama di tanah air sejak kepulangannya dan kemudian melanjutkan studi master di salah satu universitas negeri di tanah air yang bersangkutan tidak menggunakan bahasa Indonesia sehari-harinya? Maaf jika saya terdengar sangat kesal, pada faktanya Ya! Maaf juga kalo saya melihat cukup banyak orang-orang di negeri ini yang lebih bangga menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Warisan kolonialisme yang masih terjaga?

Saya bukan anti bahasa asing, saya pun kerap menggunakannya, di media sosial ataupun dalam menulis artikel, pertimbangan saya karena temen-temen saya di situ dari berbagai bangsa sehingga saya harus berkomunikasi dalam bahasa yang dimengerti oleh semua. Kalo dalam artikel buat saya itu sebagai wahana latihan untuk memperlancar kemampuan saya menulis dalam bahasa yang disebut dengan bahasa internasional.

Ada beberapa hal yang melandasi apa yang saya rasakan ini, bagi saya bahasa adalah salah satu elemen identitas dan komunikasi, kalo kita sendiri sebagai bangsa Indonesia tidak bangga lantas siapa yang mau bangga pada bahasa kita? Jika kita sudah mulai meninggalkan bahasa Indonesia bagaimana jika kelak bahasa ini akan hilang dan tidak ada lagi yang menggunakannya. Padahal sejarah Negara ini menorehkan kisah bagaimana bahasa merupakan salah satu elemen pemersatu bangsa kita yang sangat heterogen. 1928, pemuda di tanah air dari berbagai latar belakang suku dengan bahasa yang berbeda-beda bersedia menurunkan egonya untuk tidak menonjolkan rasa kesukuannya saja tapi bersatu untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang mampu menyatukan berbagai elemen yang berbeda. Belum seratus tahun peristiwa bersejarah itu berlalu, tapi buat saya kita sudah perlu mempertanyakan sebarapa jauh kita bisa menghargai momen dan pesan dari peristiwa tersebut sebagai bagian dari identitas dan alat pemersatu.

Kenapa memelihara bahasa begitu berharga buat saya? Saya teringat pada wawancara yang saya lakukan dengan Julen de Madariaga beberapa tahun silam di kota San Sebastian, Spanyol (masyarakat Basque mungkin akan lebih suka kalo saya sebut Basque coutry dibanding Spanyol). Julen adalah pendiri gerakan Euskadi ta Astakatasuna atau dikenal dengan ETA, sebuah organisasi yang oleh beberapa Negara khususnya Spanyol tidak hanya dianggap sebagai gerakan separatis tapi juga gerakan teroris. Euskadi ta Askatasuna berasal dari bahasa Basque, yang artinya Negara Basque dan kebebasan. ETA pada dasarnya menutut kemerdakan di tanah Basque dari Spanyol dan Perancis yang mereka anggap sebagai penjajah di tanahnya.

ETA lahir sebagai bentuk perlawan atas rezim Jendral Franco, diktator Spanyol yang berkuasa sejak 1939-1975. Pada masa kepemimpinannya, Franco tak hanya melakukan pembasmian terhadap masyarakat Basque tapi juga melarang mereka untuk menggunakan bahasa Basque. Bahasa dan budaya lokal masyarakat Basque adalah beberapa elemen identitas yang dihapuskan pada masa Franco, mereka yang bersikeras melestarikannya akan dihukum.

Hal tersebutlah yang mejadi akar permasalahan yang melahirkan perlawanan masyarakat Basque menurut Julen de Madariaga:

‘Kami memulai gerakan ini pada tahun 1953 sebagai gerakan budaya, dan kami berjuang diam-diam selama enam tahun hingga 1959. Kami diserang oleh militer Spanyol, saya bahkan sudah tak tahu lagi berapa kali mereka menyerang.  Aksi gerakan kami terfokus untuk mempertahankan bahasa kami yang dimusnahkan pada masa itu. Beberapa diantara kami telah dipaksa melupakan bahasa kami sendiri, jadi banyak diantara kami yang harus mempelajari bahasa kami lagi. Pada 1963, musuh yaitu pemerintah Spanyol mulai menyerang kami, yang memaksa gerakan kami bergeser menjadi gerakan politik. Rezim Franco bereaksi keras terhadap perjuangan kami. Dan satu atau dua tahun kemudian semua berjalan begitu cepat, dan kami terpaksa beralih ke gerakan militer. Kenapa? Demi kebanggan bangsa kami, bangsa Basque yang benar-benar terpuruk saat itu’

(kutipan wawancara penulis dengan Julen de Madariaga)

Tekanan Franco memaksa masyarakat Basque hanya secara diam-diam memelihara bahasa mereka, sehingga tak banyak masyarakatnya yang kemudian bisa berkomunikasi dengan bahasa yang dikenal dengan sebutan Euskera. Masyarakat Basque secara sembunyi-sembunyi belajar dan mengajarkan bahasa dan lagu-lagu Basque. Jika ketahuan, risikonya adalah dibunuh. Setelah Franco meninggal, semangat untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Basque terus dipelihara oleh masyarakatnya dan kini bahasa itu tidak hanya diajarkan disekolah-sekolah di kawasan Basque tapi juga warganya telah berusaha aktif memperkenalkan bahasa Basque ke berbagai belahan bumi.

Saya teringat pada percakapan yang pernah saya lakukan dengan Amaia Zubiria, seorang seniman Basque, Ia mengatakan:

‘Ini adalah sebuah misteri bagaimana budaya kami masih bisa bertahan hingga sekarang… Kami semua adalah pejuang, dan kami tidak akan kehilangan identitas kami. Saya tidak tahu bagaimana mendefinisikan identitas yang dimiliki oleh seseorang, namun kami merasa memilikinya dan tidak ingin kehilangan itu. Kami berjuang melawan kepunahan identitas kamu dengan gerilya (dia menyebutnya a cultural guerrilla). Terimakasih pada pejuang-pejuang kami yang berjuang mempertahankan budaya kami, dan pada akhirnya kami semua merupakan bagian dari perjuangan ini’

 (kutipan wawancara penulis dengan Amai Zubiri)

Saya sempat bertanya pada Amaia apakah anda merasa sebagai sebuah bangsa terpisah dari Spanyol dan Perancis? Ia pun menjawab ‘ya kami adalah sebuah bangsa tanpa negara, kami memiliki bahasa dan budaya kami sendiri’. Basque saat ini terbagi di wilayah Spanyol dan juga Perancis, keinginan untuk merdeka masih terus bergejolak hingga kini. Namun jalur politik kini menjadi pilihan mereka, ETA pun pada januari 2011 silam telah menyampaikan pesan gencatan senjata yang bersifat permanen dan mendukung proses demokrasi demi mendukung kemerdekan Basque.

Perjuangan masyarakat Basque memberikan pelajaran yang sangat berharga, terlebih sebagai seorang lulusan dalam bidang Resolusi Konflik dan Ilmu Perdamaian. Di sini saya ingin menekankan bagaimana kita sebagai sebuah bangsa sudah sepatutnya belajar pada kemauan keras dan perjuang masyarakat Basque mempertahankan budaya dan bahasa mereka. Benar bahwa itu bukan satu-satunya alasan pemberontakan mereka, mengingat Franco juga melakukan serangan yang bersifat militer ke kawasan Basque, namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa elemen bahasa dan budaya telah memainkan peran penting dalam pergerakan mereka.

Jika sebuah bangsa, bahkan harus berjuang keras dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk melestarikan bahasa, kenapa kita yang justru mulai enggan atau bahkan melupakan bahasa nasional yang sudah mempersatukan bangsa ini sejak puluhan tahun silam. Adalah sebuah kebanggaan tentunya jika kita bisa berkomunikasi dalam beberapa bahasa baik  lokal maupun internasional, tapi saya tidak menganggap bahwa bahasa internasional kastanya lebih tinggi dari bahasa kita sendiri.

Warisan kolonialisme, istilah ini begitu sering saya dengar saat saya belajar di Lancaster, UK. Istilah yang selalu mendorong saya untuk mengkritisi dan melihat bagaimana hal ini nampak masih melekat pada bangsa saya. Koreksi saya bila salah, tapi seingat saya dalam sejarah negeri ini dulu orang-orang yang bisa berbahasa asing, khususnya Belanda, adalah para keturunan bangsawan dan priyayi. Sementara rakyat biasa hanya mengenal bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Menurut saya, inilah yang kemudian mengkonstruksi bagaimana masyarakat kita kemudian menganggap bahwa bahasa asing seolah memiliki kasta yang lebih tinggi. Pada akhirnya saya bahkan tebingung-bingung melihat orang yang begitu bangganya bisa berbahasa asing tapi tidak bisa menggunakan bahasa nasionalnya sendiri.

Sementara dari perspektif identitas, saya melihat ini sebagai sebuah bentuk krisis. Secara perlahan ini bisa merenggut keterikatan kita pada bangsa kita sendiri. Saya teringat suatu ketika saat saya berbincang dengan seorang sopir taxi asal India di Inggris yang telah belasan tahun tinggal di negara yang pernah menjajah bangsanya tersebut. Kemudian saya bertanya anda tidak ingin kembali ke negara anda? Dia menjawab, saya ingin kembali ke negara saya, tapi semua yang ada disana nampak menjadi asing buat saya. Sudah lama saya meninggalkan kampung halaman saya, sehingga saya tidak dekat dengan budaya dan bahasa nenek moyang saya sendiri. Di India saya tidak cukup India, dan di Inggris saya pun tidak akan pernah sepenuhnya menjadi Inggris.

Hal tersebut  mengingat kan saya pada teori identitas, dan apa itu bangsa khususnya teori yang diungkapkan oleh Ernest Rennan. Rennan mendefinisikan bangsa sebagai prinsip spiritual yang melibatkan sebuah komunitas masyarakat yang memiliki dan berbagi kesamaan sejarah dan pengorbanan di masa lalu, dengan elemen geographis serbagai salah satu bagian terpentingnya. Definisi ini menurut saya menjelaskan apa yang dialami si sopir taxy di atas. Tidak peduli sebagaimana mahir anda menggunakan bahasa yang bukan bahasa nenek moyang anda, sampai kapanpun anda tidak akan pernah menjadi bagian dari bangsa tersebut, karena sejarah tidak mencatat anda memiliki kesamaan latar belakang sejarah dan nilai-nilai yang sama. Sementara di bangsa anda sendiri identitas kebangsaan yang mempersatukan anda dengan bangsa nenek moyang anda sendiri telah mulai terkikis, lantas anda menjadi bagian dari bangsa yang mana? Inilah yang saya maksud dengan krisis identitas.

 Sebagaimana dengan lahirnya bangsa Indonesia kita berbagi kesamaan sejarah sebagai daerah bekas jajahan belanda, memiliki musuh bersama yang sama pada saat itu sehingga menyatukan bangsa ini dibawah nama yang disebut Indonesia. Bennedict R. Anderson mengatakan: Indonesians were those who shared the burden of white colonial rule in the Netherlands Indies’

Pertanyaannya apakah teori Rennan masih relevan pada masa sekarang dimana pernikahan beda bangsa telah menggabungkan orang dengan latar belakang yang berbeda dan melewati batas negara? Saya melihat faktanya bahwa teori Rennan masih berlaku, khususnya dalam menjelaskan bagaimana kemudian rasisme masih tetap ada di muka bumi ini. Faktanya di beberapa negara masih ada komunitas dan orang-orang yang menolak immigran di negara mereka. Tidak peduli sudah berapa lama si immigran berada di negara tersebut, tapi bagi mereka sampai kapanpun si immmigran tidak akan pernah menjadi bagian dari bangsanya. Sekali lagi bisa jadi sebagaimana yang diungkapkan Rennan, bangsa adalah mereka yang memiliki kesamaan dan berbagi latar belakang dan pengorbanan serta nilai-nilai yang sama dalam sejarah. Teori ini bisa saja dibantah, tapi faktanya hal ini masih ada hingga sekarang.

Berawal dari perihal bahasa, pembahasan ini pun bisa melebar kemana-mana kan. Buat saya ini adalah bukti bahasa sebagai identitas yang affiliasinya begitu luas dengan berbagai aspek kebangsaaan lainnya.

Sebagai simpulan saya hanya ingin mengatakan, sebagai bangsa Indonesia maka kitalah yang memiliki tanggungjawab mempertahan kan bahasa dan budaya kita, tidak ada kasta dalam bahasa. Bahasa setara dengan bahasa bangsa manapun di atas muka bumi ini, jika bukan kita sebagai bangsa Indonesia yang bangga dan mau melestarikan bahasa kita, lantas siapa lagi? Ini bukan berarti kita tidak mau mempelajari bahasa asing lain, kita juga perlu mempelajari sebanyak-banyaknya bahasa asing demi mendukung kemampuan kita bersaing di ranah internasional.

 Jakarta, 21 Dec 2013

Desy Ayu Pirmasari

ImageImageImage

In Fight for Gender Equality, Our Own Ancestors Set the Example

As one of the most vibrant democracies in Asia, and as a country experiencing continuous economic growth, Indonesia is emerging as a leader in the region. President Susilo Bambang Yudhoyono’s appointment as the co-chairman of UN chief Ban Ki-moon’s High Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda further indicates that Indonesia is increasingly seen as an example. As it emerges into the spotlight, Indonesia indeed faces the responsibility of setting a good example, particularly in terms of the Millennium Development Goals.

One of the MDGs is promoting gender equality across the globe. This goal makes women’s empowerment and gender parity top priorities to achieve by 2015. To achieve these objectives, countries are aiming to give women and men equal access to education and economic participation at all levels.

Gender equality is relevant in many regions in the world, where many women still experience discrimination. Many women are still marginalized and have no opportunity to participatein the public space. The MDGs aim to eliminate this barrier.

But it is important to note that promoting gender equality is not a new thing in Indonesia.

Some women are considered national heroes. Cut Nyak Dhien, Cristina Martha Tiahahu and Dewi Sartika are all women whose names have been inscribed in public memory. Like their male counterparts, Cut Nyak Dhien and C.M. Tiahahu fought against colonialism. Dewi Sartika was a pioneer in education and schooling for Indonesian women, particularly in the West Java region. These heroines became symbols of women’s liberation while also joining men in leading the national struggle.

Nowadays the bravery of women is more a historical than a living legacy. In fact, today women play a much less active role in public life.

For instance, although Indonesia’s Election Law No. 18 or 2012 has required all political parties to allocate a minimum of 30 percent of seats for women representatives, the percentage of women representatives in parliament still falls far below the quota. According to the United Nation Development Program, women occupy only 18.2 percent of the seats in our parliament.

The law intended to increase women’s participation in politics, so that they could voice women’s needs, but it is not being upheld.

Shortcomings such as this are the reason why Indonesia ranks just 121 out of 186 countries on the Gender Inequality Index of the UNDP.

The population census in 2010 highlighted that 49.66 percent of Indonesians were women. Having almost the same proportion of men and women in the population makes gender equality issues essential in maintaining economic growth and global competitiveness. Indonesia cannot grow if it leaves half of its population behind.

Gender equality could improve human capital and also the country’s economic growth. Some studies find that promoting women’s education can reduce fertility and child mortality levels, thereby also increasing the education level of the next generation. This will lead the society to achieve higher international competitiveness and push economic growth.

In other words, in the long term, promoting gender equity in education will not only increase the country’s Human Development Index ranking, but also elevate its competitiveness in the global community.

And yet, it is also important that equity in education is matched with the promotion of equal opportunity in economic and political processes. One of the reasons why the number of women participating in the political and economic realms is due to policies implemented during the New Order era. During this time, a woman’s role was seen as a housewife and at stay-at-home mom. By instilling the belief that women are supposed to return to their kodrat, or the traditional role, and remain in the domestic space, New Order thinking has limited their ability to compete with men.

Even though Indonesia has made significant progress since the Reformation era, the country still needs to improve in order to achieve its MDG targets. The ideology that portrays women to be submissive, weak, ineligible for politics and belonging primarily in the domestic space must be eliminated.

But eliminating gender gaps is not only the responsibility of women. Instead, creating such change must be supported by all of society. It is important that society comes to view women’s emancipation and gender equality not as “Western values” but rather as part of the national culture that existed many years ago.

Many questions remain. Why does the government still use a quota system to boost women’s participation in politics? Is it the women themselves who do not want to move into the public arena? Or is it the legacy of the previous regime that still lingers within the society? How far will society have to go to accept a woman as a leader?

Our ancestors have given us a good example of how to give women and men an equal chance for education and participation in political life. Women were equal partners with men in the struggle to liberate the nation from colonialism and backwardness.

Our generation holds the responsibility of picking up where our ancestors left off. We can begin by promoting the idea that men and women should have equal chances to education, employment and participation in public life.

Desy Pirmasari is a researcher at Strategic Asia, a consultancy promoting cooperation between Asian nations. She can be contacted at desy.pirmasari@strategic-asia.com.

 

*article published at the Jakarta Globe: http://www.thejakartaglobe.com/opinion/in-fight-for-gender-equality-our-own-ancestors-set-the-example/

Explaining women experiences in time of war

Paper I presented about Mobilising Women, Guarding the Collective Identity (Women Experiences in the Aceh conflict and the aftermath)’ at the Postgraduate Academic Conference, University of Surrey, Guildford (UK), “Behind the Lines: Gender in the Bunker and of Security and Defence?”, 11 September 2013.

http://genderandsecurity.wordpress.com/programme/programme/

Potret Konflik Mindanao

Potret Konflik Mindanao

A coverage on Mindanao conflict and interview with Umrakato, BIFM Leader.

Rape on women in time of war

In War, the rape of enemy women is part of the conquest~ Johan Galtung in Peace by Peaceful Means

It has been acknowledged that women and children are the primary victims of war and armed conflict. Armed conflict and political violence are often assumed to be male domains, while women used to play a classic roles such as being an instigators in accordance to encourage and support their men to fight at the front line. This argument was supported by the fact that man bodies generally bigger than woman, which was required in ancient wars that usually use such big weaponry.

However, women involvement in the modern warfare has changed, not only a victims or instigators but also as an active combatants. Goldstein in his work War and Gender, How Gender Shapes the War System and Vice versa said the modernisation of weaponry technology which considered smaller body has better speed and even more adaptive. This modern weaponry has given more chance for woman to be an active combatant. In addition, the construction of women as high compassion personalities, full of nurturing, caring and peaceful culture are the advantages in order to deceive their enemies in time of war and armed conflict, as they are not suspected of bringing an attacking mission. Therefore, they are believed as an effective combatant to bring suicide-bombing mission, for instance.

On the other hand, the transformation of woman’s role in the armed conflict has made women even more vulnerable, they are not only a target of assault but also need to be conquered by their enemies. One way to conquer the enemy in time of war is through rape on their women as mentioned by Johan Galtung in his work Peace by Peaceful Means. UNICEF mentioned more than 20,000 women raped in Bosnia during the war, while in another violent conflict and war such as Rwanda, DR Congo, Aceh, Sri Lanka and Bangladesh, number of women has also been raped during the escalation.

Many scholars, such as Nira Yuval-Davis, Rubina Saigol, and Meredeth turshen have mentioned how women valued as the guardian of their societies culture, the bearer of collectivist’s honour, even in some communities, women are valued as property that needs to be protected by their men (father, husband, brother, and another relatives within their communities). A woman is the guardian of their nation, metaphorical as motherland that should be defended by the people. Woman also has the reproduction ability to give birth of the new generation in their communities. If woman were raped, and getting pregnant then they will give birth of their enemy’s child which generally unaccepted by their communities. Some call it as ethnic cleansing.

Therefore, in time of war, rape over women has been used as part of the conquered, and conquering means victory. If woman have been raped, then the communities (particularly male) think that they have failed in protecting their women, the guardian of their nation, the bearer of their community’s honour. It even worse in a community that believe woman’s virginity should be protected as the distinctive mark of pure women, which make raped survivors even more vulnerable. The patriarchal culture also contributes in perpetuating the marginalisation over raped survivors. Carol P. Christ defining patriarchy as:

“… A system of male dominance, rooted in the ethos of war which legitimates violence, sanctified by religious symbols, in which men dominate women through the control of female sexuality, with the intent of passing property to male heirs, and in which men who are heroes of war are told to kill men, and are permitted to rape women, to seize land and treasures, to exploit resources, and to own or otherwise dominate conquered people.”

The construction that believed that women should be protected, the patriarchal culture, has made raped survivors as damaged property and marginalised them in their own communities. The rape it self, the victimisation and marginalisation towards raped survivors are the main problems.

In this article I would like to highlight, it is important to use the term of raped survivors instead of raped victims. We shall not victimise other people by calling them victims. It is even more important for the communities where they belong, not to marginalised and treat raped survivors as a damaged property, instead the communities should stand together to re-build their self-confidence.

Mengintip Negeri Juche

Mengintip Negeri Juche

A documentary made during the celebration of the centenary of the birth of President Kim Il Sung, in April 2012.

Give Peace a chance in Papua

Couple weeks ago, I saw this tagline in a friend timeline ‘Give Peace a Chance in Basque country’, yes a friend from Basque. Basque is located in Spain and France, although if you go to Basque you will find some poster said ‘Remember, you are not in Spain nor in France’. But the thing that I like is, the words said Give peace a chance, so let me borrow the tagline for Papua.

Papua, this region has come up in the front page in Indonesia media, lately. The fact that the Free Papua Movement or OPM has just opened an office in Oxford, UK created fury from many people, particularly Indonesian.

However, here I would like to highlight the debate on the Papua itself. Let me begin with the history of the integration of Papua as part of Indonesia, for sure it’s inseparable from the Act of Free Choice (PEPERA) that was held in 1969, to let Papuan voted whether they want to join Indonesia or they want to have a different state. Why there was PEPERA in Papua? Why they finally integrated to Indonesia? Why there is a resistance group in Papua?

Well, as we (all Indonesian) know that the country declared independency from the Dutch colonialism in 1945. Then what is Indonesia? Let me borrow Bennedict Anderson explanation here: ‘Indonesians were those who shared the burden of white colonial rule in the Netherlands Indies’ which then we call as Sabang to Merauke. But, in fact that the Dutch colonialist was excluded Papua, which then created a dispute between Government of Indonesia and the Dutch over the territory. Both side finally agreed to meet and signed the New York Agreement in 1962, with one of the point is giving Papuan a choice to decide it by themselves through PEPERA that would be held in 1969, while UN will temporary administer the areas. In fact, the agreement was made without the consent of Papuan or any of their representatives. Owing to this, in 1962 UN sent the United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) to Papua, but then left the region in 1963, and let Indonesian government took control over the region. Some scholars argued that during this time, Indonesian government has used military oppression and committed human right violation in Papua, which gave birth to the armed struggle of OPM. I would say OPM reacted to the oppression and marginalisation of their communities. Budiarjo and Liong (1988) explained to ensure the result of PEPERA would benefit Indonesia, massive military troops sent to Papua and attacked not only the OPM members but also civilians.

International Centre for Transitional Justice (ICTJ) and Elsham reported that before PEPERA was held, military operation launched including operasi sadar in order to diminish OPM. Marcus Kaisepo, President in exile of West Papua explored that in March 1967, Indonesian government attacked Manokwari area through air, sea, and land and killed more than 2000 people (cited in US declassified document regarding to Memorandum of Conversation on Papuan Independence and the West New Guinea Plebiscite, 1967).

Soeharto regime at that time also rejected the use of one man one vote as asked by the UN. Soeharto applied his own model of voting by taking 1,024 representatives (one man represent about 750 people), as a result 1,022 people vote in favour of the integration with Indonesia.

What I want to underline from the historical background above is that the government of Indonesia at that time has used violence to pursue their goal. Am I in favour for Papuan independency? I don’t say so, but let me write my thought on it. Whose interest is protected here? I would say all the violations committed by Indonesian government at that time was motivated by some foreign interest, particularly for the natural resources in the region, well ‘paradox of plenty’ or ‘resource curse’ if I may quote.

Then let us see what has happened after the PEPERA that decided Papua as part of Indonesia. We can borrow Lord Acton thought about nationality in Essays on Freedom and Power that published in 1949 here:

“The co-existence of several nations under the same State is a test, as well as the best security of its freedom. It is also one of the chief instruments of civilisation; and, as such, it is in the natural and providential order, and indicates a state of greater advancement than the national unity, which is the ideal of modern liberalism…. Inferior races are raised by living in political union with races intellectually superior”

Referring to Acton, I believe there would not be any problem if Papuan has not been marginalised. Military oppression, centralisation policy, transmigration policy that make Papuan as ‘the other’ in their own land under the New Order regime, obviously has marginalised Papuan. As a matter of fact, even after Soeharto stepped down from the presidency, the situation has not change much, why because the use of military oppression or violence still used by the government. What about autonomy that has been given? Well, borrowing William Easterly term of ‘native autocrats’ as one way used during the colonialism, that’s what I thought.

So, I would argue in the case of Papua, negotiation should be the way out, the government of Indonesia and OPM should sit together to negotiate and talk. We should have learnt from Aceh that the used of military oppression and violence never give us the way out of the situation. Obviously, only through peaceful means peace in Papua can be achieved and one thing for sure violence will only give birth to another violence.

I remember, once I came to Johan Galtung conference, as he always believe in, he also said that negotiation is the only way out for the conflict in Papua. Galtung (cited from abstract presentation he delivered ‘Four components of Peace’, in Tutu Centre, Liverpool Hope University on 28-30 January 2013) made his own formula in creating peace, where the two numerator factors believed the more the better, while the two denominator leading to direct violence and structural violence, the less the better.

Image

Constructing Equity: cooperation for mutual and equal benefit;

Constructing Harmony: emotional resonance, in the Daoist sense of enjoying the joy, and suffer the suffering, of other;

Reconciling past trauma: clearing the past, acknowledging wrongs, wishing them undone, dialogues about how and a future together;

Resolving present conflict: making incompatible, contradictory goals more compatible, softening negatives attitude and behaviour.

And there is nothing can be finished in one night, it’s only a fairy tale we heard when we were kid, about a thousand temples that built overnight, sorry but I will say there is no such a thing. One man cannot change everything in one night only, so does peace. It takes time and it has to face a long way before achieved its goal. Aceh took several negotiations before the signing of Helsinki MoU, Basque nationalist movement (ETA) has declared ceasefire and broke several times before decided to use political way, and our neighbour Philippine has just sign the peace agreements with the MILF after years of negotiation. So, Why don’t we give peace negotiation a chance in Papua?

*the history compiled from several sources

‘Our’ pleasure depends on ‘their’ pain*

Headline News, Boston Blast, Thatcher died, Korean peninsula escalation, Syrian uprising, and look what is the one thing linked each other? I would say grievance and war, all those news related to both things. Then why do I want to talk about it? Well, basically I wan to talk about War journalism and peace journalism and how the media industries sell the news.

Sontag (2003) said calamities images of victims in a tragedy not only exploit the sentiment of the viewers and but it can also accelerate hatred to the enemy that linked to the event by the media. Nevertheless in relation to terrorism news then, Prajarto (2004)  argued this kind of news created more fear to the people and also perpetuated another terrorist action as they believe their action had succeed in creating chaos.

As the fourth estate, media has the power to lead people opinion (Splichal, 2002), as it has the power to deliver the news to the people. In this kind of situation, the news aired not only provide information for the people but could also promote the conflicts when its reported in a very aggressive way. One way media perpetuate violence is by delineating conflict in a binary ways (Nohrstedt et al., 2000).

Let me narrowed the topic to the case of Indonesia. Well, discussing about Indonesian media, it must be inseparable from talking about the New Order’s regime under Soeharto who restricted the media and any other freedom at that time. Under Soeharto’s regime, he control the media coverage, as a consequence, the news that could destabilise the country were banned. He also banned any news for criticising the government policy or investigating ‘something smell fishy’ under his regime.

That was 1998, when Soeharto forced to step down and Indonesia call itself welcoming the democracy afterwards. Let us see what happen next? I would say the media growth in Indonesia was highly increased after that. Soon after Soeharto stepped down as the president of the republic in 1998, and the media as a business has mushroomed following the new law UU No. 40 (1999) issued by the government under president BJ. Habibie.  On the other hand media has been free since that law published, and the government has lost its power to restrict media.

In fact the freedom that mushroomed ever since has created another problem, as there is no restriction the media can do anything. Let us see what has been said by Jakarta based journalist from Asiaweek’s, Jose Manuel Tesoro, now the media in Indonesia is unbridled and unprotected, as the government lost it controls over them, it is all created vague (cited in Heryanto and Adi, 2001, p. 351). Ajidarma (1999 p. 170-171) has argued that the current situation in Indonesia is much more dangerous than before. He said now people enjoy violence, the newspaper full of slander and abuse, and journalism did not provide any hope for the development of culture.

So, here basically I would like to highlight why violence and catastrophe preferred to appear as headline rather than any other news? Is it because we like it? I think this is the main reason, as a reader or audience of the news we have to admit that violence news attract our attention, that’s why then people call it “If it bleeds, it leads”. Elisabeth Bronfen said:

…‘Our’ pleasure depends on ‘their’ pain. Such image are delightful because ‘we are confronted with death, yet it is the death of the other’. Images of death allow viewers to experience death by proxy. …‘even as we are forced to acknowledge the ubiquitous presence of death life, our belief in our own immortality is confirmed. There is death, but it is not my own’.

Isn’t it true? We like it because it is not our death, we watch it because we think we have survived. Yes, it sounds cruel but I think this explains the truth. So I would say the catastrophe news meets the our need and the media agenda. Some discourse can be involve here, either the news created to distract people attention from one specific issue to another, or there is some hidden agenda or messages tuck on the news, and many other possible discourses.

In someway, we also have to remember how the mainstream media construct the news on terrorism for example, so when talking about terrorism we already have a stereotype in our mind. Or if it talk about some ethnic group or else, usually we will have some constructed idea about it. It could be linked to our experiences or to what we got from what we read. Some scholars argued that every news has its own agenda and propaganda (although I also believe every books we read also propaganda).

But then is it means I support the restriction to the media? Let me give my opinion on it, what I want to say is, let’s start it with that so called peace journalism, a concept that has been initially discussed by Johan Galtung since early eighties (please correct me if it might be wrong). Galtung argued that war Journalism is highly focus on the violence and the causalities number, while peace journalism is more focus on the humanitarian stories and try to avoid the use of words that could inflict escalation and glorify the violence. Again, violence will never be the answer for anything!

*quoted from Elisabeth Bronfen

Note: Some arguments and quotation taken from my academics work

 

Lancaster, 18 Apr. 13