Archive | December 2013

Bahasa adalah identitas?

Bahasa, kembali saya terhenyak kemarin dalam sebuah acara seminar yang dihadiri oleh orang Indonesia dengan pembicara orang asing yang sangat lancar dan mempresentasikan pemikirannya dalam bahasa Indonesia, tapi kemudian ada orang Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri beberapa tahun dan sudah beberapa tahun pula kembali ke tanah air dan bilang di depan forum ‘maaf saya bicara dalam bahasa inggris saja karena saya tidak lancer berbahasa Indonesia’ (diucapkan dalam bahasa Inggris).

Terkejut? Sangat! Bagaimana mungkin hanya tinggal beberapa tahun di Negara lain (± 3 tahun) kemudian sudah cukup lama kembali dan beberapa tahun tinggal di tanah air seseorang sudah lupa dengan bahasa ibunya. Lantas selama di tanah air sejak kepulangannya dan kemudian melanjutkan studi master di salah satu universitas negeri di tanah air yang bersangkutan tidak menggunakan bahasa Indonesia sehari-harinya? Maaf jika saya terdengar sangat kesal, pada faktanya Ya! Maaf juga kalo saya melihat cukup banyak orang-orang di negeri ini yang lebih bangga menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Warisan kolonialisme yang masih terjaga?

Saya bukan anti bahasa asing, saya pun kerap menggunakannya, di media sosial ataupun dalam menulis artikel, pertimbangan saya karena temen-temen saya di situ dari berbagai bangsa sehingga saya harus berkomunikasi dalam bahasa yang dimengerti oleh semua. Kalo dalam artikel buat saya itu sebagai wahana latihan untuk memperlancar kemampuan saya menulis dalam bahasa yang disebut dengan bahasa internasional.

Ada beberapa hal yang melandasi apa yang saya rasakan ini, bagi saya bahasa adalah salah satu elemen identitas dan komunikasi, kalo kita sendiri sebagai bangsa Indonesia tidak bangga lantas siapa yang mau bangga pada bahasa kita? Jika kita sudah mulai meninggalkan bahasa Indonesia bagaimana jika kelak bahasa ini akan hilang dan tidak ada lagi yang menggunakannya. Padahal sejarah Negara ini menorehkan kisah bagaimana bahasa merupakan salah satu elemen pemersatu bangsa kita yang sangat heterogen. 1928, pemuda di tanah air dari berbagai latar belakang suku dengan bahasa yang berbeda-beda bersedia menurunkan egonya untuk tidak menonjolkan rasa kesukuannya saja tapi bersatu untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang mampu menyatukan berbagai elemen yang berbeda. Belum seratus tahun peristiwa bersejarah itu berlalu, tapi buat saya kita sudah perlu mempertanyakan sebarapa jauh kita bisa menghargai momen dan pesan dari peristiwa tersebut sebagai bagian dari identitas dan alat pemersatu.

Kenapa memelihara bahasa begitu berharga buat saya? Saya teringat pada wawancara yang saya lakukan dengan Julen de Madariaga beberapa tahun silam di kota San Sebastian, Spanyol (masyarakat Basque mungkin akan lebih suka kalo saya sebut Basque coutry dibanding Spanyol). Julen adalah pendiri gerakan Euskadi ta Astakatasuna atau dikenal dengan ETA, sebuah organisasi yang oleh beberapa Negara khususnya Spanyol tidak hanya dianggap sebagai gerakan separatis tapi juga gerakan teroris. Euskadi ta Askatasuna berasal dari bahasa Basque, yang artinya Negara Basque dan kebebasan. ETA pada dasarnya menutut kemerdakan di tanah Basque dari Spanyol dan Perancis yang mereka anggap sebagai penjajah di tanahnya.

ETA lahir sebagai bentuk perlawan atas rezim Jendral Franco, diktator Spanyol yang berkuasa sejak 1939-1975. Pada masa kepemimpinannya, Franco tak hanya melakukan pembasmian terhadap masyarakat Basque tapi juga melarang mereka untuk menggunakan bahasa Basque. Bahasa dan budaya lokal masyarakat Basque adalah beberapa elemen identitas yang dihapuskan pada masa Franco, mereka yang bersikeras melestarikannya akan dihukum.

Hal tersebutlah yang mejadi akar permasalahan yang melahirkan perlawanan masyarakat Basque menurut Julen de Madariaga:

‘Kami memulai gerakan ini pada tahun 1953 sebagai gerakan budaya, dan kami berjuang diam-diam selama enam tahun hingga 1959. Kami diserang oleh militer Spanyol, saya bahkan sudah tak tahu lagi berapa kali mereka menyerang.  Aksi gerakan kami terfokus untuk mempertahankan bahasa kami yang dimusnahkan pada masa itu. Beberapa diantara kami telah dipaksa melupakan bahasa kami sendiri, jadi banyak diantara kami yang harus mempelajari bahasa kami lagi. Pada 1963, musuh yaitu pemerintah Spanyol mulai menyerang kami, yang memaksa gerakan kami bergeser menjadi gerakan politik. Rezim Franco bereaksi keras terhadap perjuangan kami. Dan satu atau dua tahun kemudian semua berjalan begitu cepat, dan kami terpaksa beralih ke gerakan militer. Kenapa? Demi kebanggan bangsa kami, bangsa Basque yang benar-benar terpuruk saat itu’

(kutipan wawancara penulis dengan Julen de Madariaga)

Tekanan Franco memaksa masyarakat Basque hanya secara diam-diam memelihara bahasa mereka, sehingga tak banyak masyarakatnya yang kemudian bisa berkomunikasi dengan bahasa yang dikenal dengan sebutan Euskera. Masyarakat Basque secara sembunyi-sembunyi belajar dan mengajarkan bahasa dan lagu-lagu Basque. Jika ketahuan, risikonya adalah dibunuh. Setelah Franco meninggal, semangat untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Basque terus dipelihara oleh masyarakatnya dan kini bahasa itu tidak hanya diajarkan disekolah-sekolah di kawasan Basque tapi juga warganya telah berusaha aktif memperkenalkan bahasa Basque ke berbagai belahan bumi.

Saya teringat pada percakapan yang pernah saya lakukan dengan Amaia Zubiria, seorang seniman Basque, Ia mengatakan:

‘Ini adalah sebuah misteri bagaimana budaya kami masih bisa bertahan hingga sekarang… Kami semua adalah pejuang, dan kami tidak akan kehilangan identitas kami. Saya tidak tahu bagaimana mendefinisikan identitas yang dimiliki oleh seseorang, namun kami merasa memilikinya dan tidak ingin kehilangan itu. Kami berjuang melawan kepunahan identitas kamu dengan gerilya (dia menyebutnya a cultural guerrilla). Terimakasih pada pejuang-pejuang kami yang berjuang mempertahankan budaya kami, dan pada akhirnya kami semua merupakan bagian dari perjuangan ini’

 (kutipan wawancara penulis dengan Amai Zubiri)

Saya sempat bertanya pada Amaia apakah anda merasa sebagai sebuah bangsa terpisah dari Spanyol dan Perancis? Ia pun menjawab ‘ya kami adalah sebuah bangsa tanpa negara, kami memiliki bahasa dan budaya kami sendiri’. Basque saat ini terbagi di wilayah Spanyol dan juga Perancis, keinginan untuk merdeka masih terus bergejolak hingga kini. Namun jalur politik kini menjadi pilihan mereka, ETA pun pada januari 2011 silam telah menyampaikan pesan gencatan senjata yang bersifat permanen dan mendukung proses demokrasi demi mendukung kemerdekan Basque.

Perjuangan masyarakat Basque memberikan pelajaran yang sangat berharga, terlebih sebagai seorang lulusan dalam bidang Resolusi Konflik dan Ilmu Perdamaian. Di sini saya ingin menekankan bagaimana kita sebagai sebuah bangsa sudah sepatutnya belajar pada kemauan keras dan perjuang masyarakat Basque mempertahankan budaya dan bahasa mereka. Benar bahwa itu bukan satu-satunya alasan pemberontakan mereka, mengingat Franco juga melakukan serangan yang bersifat militer ke kawasan Basque, namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa elemen bahasa dan budaya telah memainkan peran penting dalam pergerakan mereka.

Jika sebuah bangsa, bahkan harus berjuang keras dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk melestarikan bahasa, kenapa kita yang justru mulai enggan atau bahkan melupakan bahasa nasional yang sudah mempersatukan bangsa ini sejak puluhan tahun silam. Adalah sebuah kebanggaan tentunya jika kita bisa berkomunikasi dalam beberapa bahasa baik  lokal maupun internasional, tapi saya tidak menganggap bahwa bahasa internasional kastanya lebih tinggi dari bahasa kita sendiri.

Warisan kolonialisme, istilah ini begitu sering saya dengar saat saya belajar di Lancaster, UK. Istilah yang selalu mendorong saya untuk mengkritisi dan melihat bagaimana hal ini nampak masih melekat pada bangsa saya. Koreksi saya bila salah, tapi seingat saya dalam sejarah negeri ini dulu orang-orang yang bisa berbahasa asing, khususnya Belanda, adalah para keturunan bangsawan dan priyayi. Sementara rakyat biasa hanya mengenal bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Menurut saya, inilah yang kemudian mengkonstruksi bagaimana masyarakat kita kemudian menganggap bahwa bahasa asing seolah memiliki kasta yang lebih tinggi. Pada akhirnya saya bahkan tebingung-bingung melihat orang yang begitu bangganya bisa berbahasa asing tapi tidak bisa menggunakan bahasa nasionalnya sendiri.

Sementara dari perspektif identitas, saya melihat ini sebagai sebuah bentuk krisis. Secara perlahan ini bisa merenggut keterikatan kita pada bangsa kita sendiri. Saya teringat suatu ketika saat saya berbincang dengan seorang sopir taxi asal India di Inggris yang telah belasan tahun tinggal di negara yang pernah menjajah bangsanya tersebut. Kemudian saya bertanya anda tidak ingin kembali ke negara anda? Dia menjawab, saya ingin kembali ke negara saya, tapi semua yang ada disana nampak menjadi asing buat saya. Sudah lama saya meninggalkan kampung halaman saya, sehingga saya tidak dekat dengan budaya dan bahasa nenek moyang saya sendiri. Di India saya tidak cukup India, dan di Inggris saya pun tidak akan pernah sepenuhnya menjadi Inggris.

Hal tersebut  mengingat kan saya pada teori identitas, dan apa itu bangsa khususnya teori yang diungkapkan oleh Ernest Rennan. Rennan mendefinisikan bangsa sebagai prinsip spiritual yang melibatkan sebuah komunitas masyarakat yang memiliki dan berbagi kesamaan sejarah dan pengorbanan di masa lalu, dengan elemen geographis serbagai salah satu bagian terpentingnya. Definisi ini menurut saya menjelaskan apa yang dialami si sopir taxy di atas. Tidak peduli sebagaimana mahir anda menggunakan bahasa yang bukan bahasa nenek moyang anda, sampai kapanpun anda tidak akan pernah menjadi bagian dari bangsa tersebut, karena sejarah tidak mencatat anda memiliki kesamaan latar belakang sejarah dan nilai-nilai yang sama. Sementara di bangsa anda sendiri identitas kebangsaan yang mempersatukan anda dengan bangsa nenek moyang anda sendiri telah mulai terkikis, lantas anda menjadi bagian dari bangsa yang mana? Inilah yang saya maksud dengan krisis identitas.

 Sebagaimana dengan lahirnya bangsa Indonesia kita berbagi kesamaan sejarah sebagai daerah bekas jajahan belanda, memiliki musuh bersama yang sama pada saat itu sehingga menyatukan bangsa ini dibawah nama yang disebut Indonesia. Bennedict R. Anderson mengatakan: Indonesians were those who shared the burden of white colonial rule in the Netherlands Indies’

Pertanyaannya apakah teori Rennan masih relevan pada masa sekarang dimana pernikahan beda bangsa telah menggabungkan orang dengan latar belakang yang berbeda dan melewati batas negara? Saya melihat faktanya bahwa teori Rennan masih berlaku, khususnya dalam menjelaskan bagaimana kemudian rasisme masih tetap ada di muka bumi ini. Faktanya di beberapa negara masih ada komunitas dan orang-orang yang menolak immigran di negara mereka. Tidak peduli sudah berapa lama si immigran berada di negara tersebut, tapi bagi mereka sampai kapanpun si immmigran tidak akan pernah menjadi bagian dari bangsanya. Sekali lagi bisa jadi sebagaimana yang diungkapkan Rennan, bangsa adalah mereka yang memiliki kesamaan dan berbagi latar belakang dan pengorbanan serta nilai-nilai yang sama dalam sejarah. Teori ini bisa saja dibantah, tapi faktanya hal ini masih ada hingga sekarang.

Berawal dari perihal bahasa, pembahasan ini pun bisa melebar kemana-mana kan. Buat saya ini adalah bukti bahasa sebagai identitas yang affiliasinya begitu luas dengan berbagai aspek kebangsaaan lainnya.

Sebagai simpulan saya hanya ingin mengatakan, sebagai bangsa Indonesia maka kitalah yang memiliki tanggungjawab mempertahan kan bahasa dan budaya kita, tidak ada kasta dalam bahasa. Bahasa setara dengan bahasa bangsa manapun di atas muka bumi ini, jika bukan kita sebagai bangsa Indonesia yang bangga dan mau melestarikan bahasa kita, lantas siapa lagi? Ini bukan berarti kita tidak mau mempelajari bahasa asing lain, kita juga perlu mempelajari sebanyak-banyaknya bahasa asing demi mendukung kemampuan kita bersaing di ranah internasional.

 Jakarta, 21 Dec 2013

Desy Ayu Pirmasari

ImageImageImage