Archive | April 2013

‘Our’ pleasure depends on ‘their’ pain*

Headline News, Boston Blast, Thatcher died, Korean peninsula escalation, Syrian uprising, and look what is the one thing linked each other? I would say grievance and war, all those news related to both things. Then why do I want to talk about it? Well, basically I wan to talk about War journalism and peace journalism and how the media industries sell the news.

Sontag (2003) said calamities images of victims in a tragedy not only exploit the sentiment of the viewers and but it can also accelerate hatred to the enemy that linked to the event by the media. Nevertheless in relation to terrorism news then, Prajarto (2004)  argued this kind of news created more fear to the people and also perpetuated another terrorist action as they believe their action had succeed in creating chaos.

As the fourth estate, media has the power to lead people opinion (Splichal, 2002), as it has the power to deliver the news to the people. In this kind of situation, the news aired not only provide information for the people but could also promote the conflicts when its reported in a very aggressive way. One way media perpetuate violence is by delineating conflict in a binary ways (Nohrstedt et al., 2000).

Let me narrowed the topic to the case of Indonesia. Well, discussing about Indonesian media, it must be inseparable from talking about the New Order’s regime under Soeharto who restricted the media and any other freedom at that time. Under Soeharto’s regime, he control the media coverage, as a consequence, the news that could destabilise the country were banned. He also banned any news for criticising the government policy or investigating ‘something smell fishy’ under his regime.

That was 1998, when Soeharto forced to step down and Indonesia call itself welcoming the democracy afterwards. Let us see what happen next? I would say the media growth in Indonesia was highly increased after that. Soon after Soeharto stepped down as the president of the republic in 1998, and the media as a business has mushroomed following the new law UU No. 40 (1999) issued by the government under president BJ. Habibie.  On the other hand media has been free since that law published, and the government has lost its power to restrict media.

In fact the freedom that mushroomed ever since has created another problem, as there is no restriction the media can do anything. Let us see what has been said by Jakarta based journalist from Asiaweek’s, Jose Manuel Tesoro, now the media in Indonesia is unbridled and unprotected, as the government lost it controls over them, it is all created vague (cited in Heryanto and Adi, 2001, p. 351). Ajidarma (1999 p. 170-171) has argued that the current situation in Indonesia is much more dangerous than before. He said now people enjoy violence, the newspaper full of slander and abuse, and journalism did not provide any hope for the development of culture.

So, here basically I would like to highlight why violence and catastrophe preferred to appear as headline rather than any other news? Is it because we like it? I think this is the main reason, as a reader or audience of the news we have to admit that violence news attract our attention, that’s why then people call it “If it bleeds, it leads”. Elisabeth Bronfen said:

…‘Our’ pleasure depends on ‘their’ pain. Such image are delightful because ‘we are confronted with death, yet it is the death of the other’. Images of death allow viewers to experience death by proxy. …‘even as we are forced to acknowledge the ubiquitous presence of death life, our belief in our own immortality is confirmed. There is death, but it is not my own’.

Isn’t it true? We like it because it is not our death, we watch it because we think we have survived. Yes, it sounds cruel but I think this explains the truth. So I would say the catastrophe news meets the our need and the media agenda. Some discourse can be involve here, either the news created to distract people attention from one specific issue to another, or there is some hidden agenda or messages tuck on the news, and many other possible discourses.

In someway, we also have to remember how the mainstream media construct the news on terrorism for example, so when talking about terrorism we already have a stereotype in our mind. Or if it talk about some ethnic group or else, usually we will have some constructed idea about it. It could be linked to our experiences or to what we got from what we read. Some scholars argued that every news has its own agenda and propaganda (although I also believe every books we read also propaganda).

But then is it means I support the restriction to the media? Let me give my opinion on it, what I want to say is, let’s start it with that so called peace journalism, a concept that has been initially discussed by Johan Galtung since early eighties (please correct me if it might be wrong). Galtung argued that war Journalism is highly focus on the violence and the causalities number, while peace journalism is more focus on the humanitarian stories and try to avoid the use of words that could inflict escalation and glorify the violence. Again, violence will never be the answer for anything!

*quoted from Elisabeth Bronfen

Note: Some arguments and quotation taken from my academics work

 

Lancaster, 18 Apr. 13

Rape Survivors not Rape Victims

Pagi ini saya benar-benar marah saat membuka akun facebook, dan melihat ada yang memposting sebuah gambar dengan tulisan “Terkadang Hidup itu seperti diperkosa, mau gak mau, siap gak siap, enak ga enak, suka gak suka, tetap harus dinikmati”. Hati yang sudah kadung geram tanpa pikir panjang langsung mengklik ‘unfriend’ ke orang yang men-share tulisan itu. Apa-apaan coba beraninya dya memposting tulisan seperti itu, apa yang ada di otak orang tersebut? ( saya tahu ini tidak bijak, instead saya seharusnya bilang ke dia bahwa itu salah dan memberi tahu apa pikiran saya, tapi karena sayamerasa saya juga tidak kenal orang ini dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon tanggapan saya maka saya memilih unfriend dan menulis di sini, sehinga bisa dibaca oleh kalangan yang lebih luas juga).

Secara umum perkosaan diartikan sebagai setiap hubungan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu yang terlibat di dalamnya. Ok, karena ini bukan artikel ilmiah, saya rasa sah-sah saja untuk meminjam definisi perkosaan yang disajikan Wikipedia, yaitu: Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Jadi, menurut saya kalau ada orang yang berpikir ini bisa dinikmati, maka hanya orang-orang yang sudah kehilangan moral dan hati nurani saja yang bisa beranggapan demikian.

Saya hanya berbicara dalam konteks perkosaan pada mas perang, dimana dam alam kondisi perang, perkosaan dijadikan alat sebagai bentuk penaklukan (lihat Galtung dalam Peace by Peaceful Means). Bagi salah satu pihak, memperkosa wanita dari kelompok musuhnya adalah salah satu cara untuk “menghina” musuhnya, kenapa demikian? Karena tubuh perempuan dianggap sebagai identitas akan budaya suatu kelompok atau bangsa, sebagai contoh saat berbicara tentang tanah air, maka kita akan menyebutnya dengan ‘ibu pertiwi’. Wanita memiliki kemampuan untuk regenerasi, karenanya perkosaan dianggap sebagai cara mengehina musuh dalam peperangan, karena jika kemudian wanita yang diperkosa hamil dan memiliki anak maka ia melahirkan anak dari musuhnya.

Hal ini menjadi lebih runyam lagi jika dikaitkan dengan budaya patriarki dan pada budaya masyarakat yang sangat mengagungkan keperawanan. Dalam masyarakat seperti ini, kondisi orang yang pernah mengalami perkosaan (mulai dari sini saya akan menggunakan kata “Rape Survivors”, mohon masukannya kalo tau nama yang tepat dalam bahasa Indonesia), akan semakin rentan.

Dalam budaya patriarki yang meyakini bahwa perempuan harus dilindungi oleh lelaki mengakibatkan jika kemudian terjadi kasus perkosaan, maka laki-laki akan merasa mereka gagal melindung perempuan dalam kelompok mereka, alhasil adalah rape survivors semakin merasa dirinya menjadi korban. Hal ini menjelaskan kenapa dalam kondisi perang perkosaan dijadikan sebagai salah satu bentuk penaklukan. Karenanya dalam perang angka perkosaan terhadapa perempuan juga cenderung cukup banyak.

Yang lebih mengerikan lagi buat saya adalah beberapa pemikiran yang berkeyakinan bahwa memperkosa perempuan adalah salah satu cara untuk menunjukkan maskulinitas, karena buat mereka hal ini menunjukkan bahwa mereka kuat dan mengandung nila aggresivitas yang selalu diasosiakan dengan maskulinitas itu sendiri.

Saya jadi teringat suata saat saya bertanya pada seorang teman yang berasal dari Bangladesh mengenai Birangona, yaitu sebutan buat para perempuan yang mengalami perkosaan pada masa perang kemerdekaan di Bangladesh. Birangona secara harfiah berarti Wanita Pemberani, dimana perempuan-perempuan tersebut dianggap sebagai pahlawan bangsa. Teman saya pun menjawab, denga kebijakan tersebut, kini semisal dia punya keluarga yang masuk dalam birangona, maka dia akan merasa bangga karena mereka adalah pahlawan. Oke, dalam hal ini memang masih banyak perdebatan yang mengelilinginya karena banyak juga yang beranggapan, bahwa tidak semua masyarakat bisa menerima itu dalam budaya mereka.

Lantas apa yang harus dilakukan? Pertama, dan yang utama adalah ‘term’ perkosaan bukan bahan becandaan, sehingga sangat tidak tepat jika masih ada orang di atas bumi ini yang berpikir bisa menggunakan kata ini buat olok-olokan. Kedua, saya sepakat untuk menggunakan kata Rape Survivors dibanding Rape Victims, karena menurut saya menyebut mereka korban adalah semakin menjadikan mereka sebagai korban itu sendiri. Ketiga, saya masih berkeyakinan dari semua yang menjadi akar permasalahannya adalah budaya patriarki yang mengangap perempuan harus dilindungi oleh laki-laki. Kenapa demikian, jika perempuan diperkosa maka bagi laki-laki dari komunitasnya atau lingkungannya mereka telah gagal melindungi perempuan. Sementara bagi si pemerkosa, memperkosa perempuan menjadi tantangan buat mereka untuk menunjukan maskulinitas mereka dengan menyerang apa yang dilindungi oleh kelompok lain terlebih jika kelompok lain itu adalah yang dianggap sebagai musuh mereka.

Saya pribadi memandang prihatin pada orang-orang yang kemudian memiliki keyakinan ini, karena mereka tidak bisa menunjukan maskulinitas mereka dengan cara yang tepat,  memaksa perempuan untuk melampiaskan seks mereka tidak lebih baik dengan melakukannya tanpa paksaan dan atas keinginan kedua belah pihak. Sebagaimana keyakinan saya pada konflik bawah ‘violence will create another violence, that’s why it will never be the answer for war’, maka disini saya juga akan berargumen violence will never be the answer as well.

Kekerasan yang dilakukan denga jalan perkosaan tidak akan menunjukan bahwa seorang laki-laki sempurna menjadi laki-laki, sebaliknya itu menunjukan bahwa ia tidak pantas disebut laki-laki bahkan manusia karena ia lupa bahwa seorang laki-laki sebelum terlahir kedunia ia berada di rahim ibunya dan mengahabisakan sembilan bulan menyerap nutrisi dari seorang perempuan yang kemudian saat ia lahir menghidupinya dari air susunya. Maka sudah sepantasanya ia menghormati dan berlaku sopan terhadap perempuan dan juga umat manusia secara umum.

Be kind, for everyone you meet is fighting a hard battle~ Plato

Lancaster, 18 Apr. 13

Sepenggal kisah dari kota kecil bernama Lancaster

Sepenggal kisah dari kota kecil bernama Lancaster

Tidak terasa sudah lebih dari enam bulan saya berada di UK, satu semester lebih sudah terlalui. Banyak kisah yang terangkai dari kota kecil bernama Lancaster ini, yang kelak pasti akan sangat saya rindukan. Berjalan disekitar hutan dekat kampus sampai takut nyasar dan memutuskan melalu jalan menanjak yang banyak denga duri bunga mawar. Mengitari desa-desa di sekitar akomodasi sampai nyasar masuk peternakan orang local hingga menemukan jalan kecil dengan sungai yang tengan mengalir indah di tangahnya. Ya, kota ini cukup kecil buat saya yang terlahir dan besar di Indonesia, Negara kepulauan besar, terlebih saya lahir di Kalimantan di pinggiran sungai Katingan, sebuah daerah yang disebut Tumbang Samba. Saya suka bercanda jika ada yang bertanya kamu darimana, maka saya jawab daerah yang bahkan tidak bisa kamu temui di peta.

Kembali ke Lancaster, term kedua perkuliahan pun sudah dilalui, rasanya tidak siap harus back to essay, tapi ya namanya hidup semua tetap harus dilewati kan. Kuliah tak hanya sekedar cerita tentang belajar dan belajar, namun apa yang menjadi pelangi di sekitarnya lah yang menjadikan momen ini unik dan pasti akan saya kangeni suatu saat nanti. Biasanya saya malas masak, kemudian di sini, masak seolah seperti hiburan, dilakukan demi menghindari mengerjakan tugas kuliah pada dasarnya. Belum lagi joke2 bersama teman-teman tentang status single dan apa yang harus kita hadapi saat pulang, orang-orang yang akan bertanya kapan kawin? Walau pada dasarnya kebanyakan dari kita tidak begitu peduli dengan hal ini, termasuk saya sendiri. Terlalu ribet berbicara topik yang satu itu, biarlah dia indah pada waktunya, sekarang, ya selesaikan apa yang harus diselesaikan sekarang, ada essay dan tugas-tugas lain menanti.

Belum lagi berbicara cuaca di Inggris yang sangat ababil alias moody, bentar hujan bentar panas, tiba2 salju datang saat musim semi telah tiba. Belum lagi ciri khas Lancaster adalah anginnya yang cukup kencang sehingga menambah beku semu jemari jika kita sedang berjalan-jalan di luar. Alhasil, keluar rumah harus dengan baju super tebal, minimal dua atau tiga lapis, dan sepatu yang hangat. Perjuangan sekali.

Ya, pada dasarnya menulis tulisan ini pun merupakan salah satu bentuk upaya saya demi menunda mengerjakan tugas. Tuhan, semunya saja saya tunda. Namun banyak hal yang saya sadari sekarang saya malah semakin sinis dengan system yang berjalan di dunia ini. Semakin baca kok semakin menjadi sangat sinis, apa ini berarti jangan baca? Hahahaha… namun pada dasarnya saya bahagia karena saya jadi punya waktu untuk belajar dan mengetahui hal-hal yang berbeda dari apa yang saya alami sebelumnya.

Mempelajari Resolusi Konflik dan Ilmu Perdamaian bukan perkara mudah bagi saya, terlebih ilmu S1 saya bukan dari ilmu politik ataupun hubungan internasional, melainkan ilmu akuntansi, semakinlah saya dibuat pusing olehnya. Belajar akar-akar konflik, yang tejadi di berbagai belahan bumi, termasuk di tanah air, peran perempuan dalam konflik, konsep perang baru yang lebih berbasis teknologi dengan penggunaan drone, globalisasi dan demokrasi di Negara-negara berkembang, hingga segregasi-segregasi yang tercipta di masyarakat. Semuanya sangat menarik buat saya yang tidak pernah mempelajari ilmu-ilmu ini sebelumnya. Pengalaman saya sebagai jurnalis, khususnya meliput konflik tidaklah cukup untuk memahami fenomena-fenomena konflik. Tapi buat saya, setidaknya saya tahu kondisi sebenarnya di lapangan.

Selain itu saya juga memutuskan untuk menyibukkan diri dengan beberapa kagitan kampus, termasuk ikut internship di Richardson Institute, lembaga riset perdamaian universitas, bahkan beberapa waktu lalu saya sempat membuat acara diskusi panel dengan topic “Arab Spring Quo Vadis” dengan sponsor dari Chevening, Foreign Commonwealth Office. Untuk event tersebut saya menggandeng Richardson Institute untuk bekerjasama, dimana kami mengundang Roger Hardy yang mantan Analis BBC dan sekarang menjabat sebagai Senior Visiting Research Fellow di King’s College, Nicholas Coombs yang merupakan Diplomat Inggris dan juga Honorary Research Fellow di Lancaster University dan Alam Shaleh yang juga Director of Middle East Research Society di Bradford University. Senang rasanya, terlebih teman-yang datang cukup ramai, dan sangat aktif dalam berpartisipasi.

Jalan-jalan? Ok, yang paling utama menurut saya kalo sudah di Inggris ya paling tidak nonton sepakbola. At least sampai saat ini udah tercatat tiga kali nonton lah, pertama di Etihad Stadium kandangnya Manchester City saat mereka bertanding lawan tim favorit saya Real Madrid. Nonton ditengah-tengah pendukung City saya pun memutuskan tidak menggunakan jersey, nyali ciut juga. Hahaha. Selanjutnya saya dua kali nonton di Old Trafford, kandang Manchester United. Yah setidaknya sudah sah rasanya di Inggris Raya kalo sudah nonton sepakbola yang menjadi olahraga kebanggan masyarakatnya dan juga salah satu liga terpopuler di jagad raya. Apalagi ya, saya sepertinya harus balik mengerjakan essay. Have a good day!!!
flyer2

IMG_1639

IMG_15964